Penulis : Ferdinand
SUKOHARJO--MI: Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar bekerja sesuai jadwal yang sudah ada. Waktu pelaksanaan Pemilu yang semakin dekat, sebaiknya tidak digunakan untuk mewacanakan hal-hal yang spekulatif.
Hidayat mengatakan hal tersebut seusai menjadi pembicara pada seminar nasional Menatap Masa Depan Indonesia dalam Transisi Pemerintahan 2009 di Kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) di Pucangan, Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, Selasa (10/2).
"KPU harus segera memastikan langkah itu dilakukan secara profesional dan meyakinkan. Jangan mengembangkan wacana dan menunggu hal-hal yang dapat menghadirkan keragu-raguan terhadap proses itu," katanya.
Hidayat mengaku khawatir dengan persiapan Pemilu 2009 mendatang. Karena sejumlah persiapan terkesan belum dilakukan secara matang. Salah satunya adalah mengenai validasi data pemilih yang sampai saat ini antara pusat dan daerah belum mencapai kesesuaian. Permasalahan ini, menurutnya, harus segera diselesaikan.
Mengenai mekanisme pemungutan suara yang telah disepakati dilakukan dengan cara memberikan tanda centang, Hidayat meminta KPU bisa memegang teguh aturan main tersebut.
Kalau memang sudah disepakati seperti itu, KPU tidak perlu mengeluarkan kebijakan yang lain. Begitu pula wacana affirmative action atau suara ketiga untuk calon legislatif perempuan, Hidayat sepakat untuk mengembalikan persoalan itu kepada keputusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Kalau memang sudah digariskan calon legislatif yang terpilih didasarkan suara terbanyak, katanya, tidak perlu lagi aturan baru mengenai suara ketiga. Sebab, keputusan MK secara tidak langsung telah mengakomodasi keterwakilan 30% perempuan.
Menurut Hidayat, sekarang sudah banyak calon anggota legislatif perempuan yang berkualitas, bahkan di atas laki-laki, sehingga tanpa suara ketiga itupun mereka bisa terpilih.
"Menurut saya, hal tersebut justru akan membuat payung hukum yang sudah ada menjadi lemah. Jadi, manfaatkan waktu yang ada ini dengan sebaik-baiknya jangan dibuang untuk wacana-wacana yang spekualatif dan membuat orang tidak yakin dengan Pemilu," tambah Hidayat.
Ditanya mengenai wacana perlunya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk menyempurnakan payung hukum pemilu sekaligus mengakomodasi persoalan-persoalan yang mungkin muncul dalam proses itu, Hidayat menegaskan dirinya kurang sependapat karena hal itu justru akan membuat persiapan semakin berlarut-larut.
Apalagi, katanya, penerbitan perpu sifatnya untuk keadaan yang mendesak dan darurat. Di samping itu, proses pembuatannya pun memerlukan waktu yang tidak sedikit, sehingga akan lebih baik jika memaksimalkan saja UU Pemilu yang telah ada. (FR/OL-01)
Hidayat mengatakan hal tersebut seusai menjadi pembicara pada seminar nasional Menatap Masa Depan Indonesia dalam Transisi Pemerintahan 2009 di Kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) di Pucangan, Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, Selasa (10/2).
"KPU harus segera memastikan langkah itu dilakukan secara profesional dan meyakinkan. Jangan mengembangkan wacana dan menunggu hal-hal yang dapat menghadirkan keragu-raguan terhadap proses itu," katanya.
Hidayat mengaku khawatir dengan persiapan Pemilu 2009 mendatang. Karena sejumlah persiapan terkesan belum dilakukan secara matang. Salah satunya adalah mengenai validasi data pemilih yang sampai saat ini antara pusat dan daerah belum mencapai kesesuaian. Permasalahan ini, menurutnya, harus segera diselesaikan.
Mengenai mekanisme pemungutan suara yang telah disepakati dilakukan dengan cara memberikan tanda centang, Hidayat meminta KPU bisa memegang teguh aturan main tersebut.
Kalau memang sudah disepakati seperti itu, KPU tidak perlu mengeluarkan kebijakan yang lain. Begitu pula wacana affirmative action atau suara ketiga untuk calon legislatif perempuan, Hidayat sepakat untuk mengembalikan persoalan itu kepada keputusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Kalau memang sudah digariskan calon legislatif yang terpilih didasarkan suara terbanyak, katanya, tidak perlu lagi aturan baru mengenai suara ketiga. Sebab, keputusan MK secara tidak langsung telah mengakomodasi keterwakilan 30% perempuan.
Menurut Hidayat, sekarang sudah banyak calon anggota legislatif perempuan yang berkualitas, bahkan di atas laki-laki, sehingga tanpa suara ketiga itupun mereka bisa terpilih.
"Menurut saya, hal tersebut justru akan membuat payung hukum yang sudah ada menjadi lemah. Jadi, manfaatkan waktu yang ada ini dengan sebaik-baiknya jangan dibuang untuk wacana-wacana yang spekualatif dan membuat orang tidak yakin dengan Pemilu," tambah Hidayat.
Ditanya mengenai wacana perlunya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk menyempurnakan payung hukum pemilu sekaligus mengakomodasi persoalan-persoalan yang mungkin muncul dalam proses itu, Hidayat menegaskan dirinya kurang sependapat karena hal itu justru akan membuat persiapan semakin berlarut-larut.
Apalagi, katanya, penerbitan perpu sifatnya untuk keadaan yang mendesak dan darurat. Di samping itu, proses pembuatannya pun memerlukan waktu yang tidak sedikit, sehingga akan lebih baik jika memaksimalkan saja UU Pemilu yang telah ada. (FR/OL-01)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar