PEMILIHAN presiden tinggal empat bulan lagi. Arus politik pun kian menderas dan dinamis. Berbagai blok politik pengusung calon presiden terus bermunculan. Blok-blok politik itu menempatkan diri dan posisi mereka secara lebih terbuka dan transparan.
Selama ini peta kekuatan calon presiden selalu didominasi dua blok politik saja. Yang pertama, tentu saja blok incumbent, yakni Susilo Bambang Yudhoyono dengan Partai Demokrat sebagai basis pendukungnya. Blok politik ini dikenal dengan sebutan Blok S.
Kedua, Blok M, yaitu blok politik calon presiden yang dibangun Megawati Soekarnoputri dengan mesin politik yang bertumpu pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Kemudian terbitlah blok baru setelah Jusuf Kalla menyatakan kesediaannya tampil sebagai calon presiden dari Partai Golongan Karya (Golkar). Blok J muncul sebagai pilihan alternatif bagi parpol-parpol lain.
Tak berhenti sampai di situ. Persaingan menuju kursi RI-1 kian diramaikan dengan dideklarasikannya Blok Perubahan yang digagas mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli bersama 12 partai kecil peserta pemilu.
Sejumlah partai papan tengah hasil Pemilu 2004 seperti Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga tidak mau ketinggalan. Mereka pun menggagas pembentukan Blok Tengah.
Di luar blok-blok politik itu ada juga figur calon presiden yang masih tergolong nonblok. Sebut saja kader Golkar sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X yang juga telah mendeklarasikan diri sebagai calon presiden. Begitu juga sejumlah jenderal purnawirawan seperti Wiranto, Sutiyoso, dan Prabowo Subianto yang menyatakan siap meramaikan bursa calon presiden.
Munculnya beragam blok politik calon presiden menjelang pemilu adalah hal biasa. Blok-blok politik itu jelas menjadi tantangan yang semakin kuat buat incumbent dalam memperebutkan kursi presiden.
Yang tidak biasa ialah lebih banyak calon untuk menjadi orang nomor satu, tetapi kesulitan mencari calon untuk posisi orang nomor dua. Bangsa ini rupanya bangsa yang hebat karena bertaburan calon presiden.
Hingga saat ini belum ada satu pun blok politik yang telah memiliki figur calon wakil presiden. Padahal, dalam pemilihan presiden nanti, sosok RI-1 dan RI-2 berada dalam satu paket pemilihan.
Jadi, yang lebih menonjol adalah manuver-manuver yang berorientasi kepada kekuasaan, yaitu meraih kursi orang nomor satu, lewat jargon koalisi. Hanya sebatas figur calon presiden itu saja yang ditawarkan kepada publik. Padahal, selain figur calon presiden, yang juga harus ditawarkan kepada publik adalah visi dan misi serta arah kebijakan untuk masa depan bangsa dan negara.
Masa kampanye pemilu presiden memang belum tiba. Akan tetapi, adalah baik bagi publik bila jauh hari telah terjadi pertarungan visi, misi, dan arah kebijakan sehingga pilihan publik kelak tidak semata didasarkan pada fanatisme figur dan partai. Lebih dari itu, pilihan publik haruslah bertumpu pada arah kebijakan negeri ini setidaknya untuk lima tahun ke depan.
Persaingan di ranah kebijakan itulah yang layak menjadi magnet untuk mempertahankan keberadaan dan kesinambungan blok-blok politik. Tanpa itu, blok-blok politik tersebut sekadar blok-blok yang haus akan kekuasaan di mata publik.
Selama ini peta kekuatan calon presiden selalu didominasi dua blok politik saja. Yang pertama, tentu saja blok incumbent, yakni Susilo Bambang Yudhoyono dengan Partai Demokrat sebagai basis pendukungnya. Blok politik ini dikenal dengan sebutan Blok S.
Kedua, Blok M, yaitu blok politik calon presiden yang dibangun Megawati Soekarnoputri dengan mesin politik yang bertumpu pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Kemudian terbitlah blok baru setelah Jusuf Kalla menyatakan kesediaannya tampil sebagai calon presiden dari Partai Golongan Karya (Golkar). Blok J muncul sebagai pilihan alternatif bagi parpol-parpol lain.
Tak berhenti sampai di situ. Persaingan menuju kursi RI-1 kian diramaikan dengan dideklarasikannya Blok Perubahan yang digagas mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli bersama 12 partai kecil peserta pemilu.
Sejumlah partai papan tengah hasil Pemilu 2004 seperti Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga tidak mau ketinggalan. Mereka pun menggagas pembentukan Blok Tengah.
Di luar blok-blok politik itu ada juga figur calon presiden yang masih tergolong nonblok. Sebut saja kader Golkar sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X yang juga telah mendeklarasikan diri sebagai calon presiden. Begitu juga sejumlah jenderal purnawirawan seperti Wiranto, Sutiyoso, dan Prabowo Subianto yang menyatakan siap meramaikan bursa calon presiden.
Munculnya beragam blok politik calon presiden menjelang pemilu adalah hal biasa. Blok-blok politik itu jelas menjadi tantangan yang semakin kuat buat incumbent dalam memperebutkan kursi presiden.
Yang tidak biasa ialah lebih banyak calon untuk menjadi orang nomor satu, tetapi kesulitan mencari calon untuk posisi orang nomor dua. Bangsa ini rupanya bangsa yang hebat karena bertaburan calon presiden.
Hingga saat ini belum ada satu pun blok politik yang telah memiliki figur calon wakil presiden. Padahal, dalam pemilihan presiden nanti, sosok RI-1 dan RI-2 berada dalam satu paket pemilihan.
Jadi, yang lebih menonjol adalah manuver-manuver yang berorientasi kepada kekuasaan, yaitu meraih kursi orang nomor satu, lewat jargon koalisi. Hanya sebatas figur calon presiden itu saja yang ditawarkan kepada publik. Padahal, selain figur calon presiden, yang juga harus ditawarkan kepada publik adalah visi dan misi serta arah kebijakan untuk masa depan bangsa dan negara.
Masa kampanye pemilu presiden memang belum tiba. Akan tetapi, adalah baik bagi publik bila jauh hari telah terjadi pertarungan visi, misi, dan arah kebijakan sehingga pilihan publik kelak tidak semata didasarkan pada fanatisme figur dan partai. Lebih dari itu, pilihan publik haruslah bertumpu pada arah kebijakan negeri ini setidaknya untuk lima tahun ke depan.
Persaingan di ranah kebijakan itulah yang layak menjadi magnet untuk mempertahankan keberadaan dan kesinambungan blok-blok politik. Tanpa itu, blok-blok politik tersebut sekadar blok-blok yang haus akan kekuasaan di mata publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar