Penulis : Hillarius U Gani
JAKARTA--MI: Fenomena kekurangan kader untuk menjadi calon anggota legislatif (caleg) merupakan bukti kekonyolan partai politik dalam menghadapi pemilu.
''Itu kekonyolan politik yang hanya ada di Indonesia, tidak pernah ada di negara lain,'' tegas analis politik LIPI Syamduddin Harris dalam sebuah diskusi politik di Gedung DPD, Senayan, Jakarta, Rabu (20/8).
Menurutnya, kekonyolan tersebut terjadi karena banyak partai baru didirikan menjelang pelaksanaan pemilu, sehingga tidak memiliki waktu cukup untuk mempersiapkan kader-kader berkualitas untuk duduk di legislatif.
''Ini sungguh tidak baik bagi proses pembangunan politik dan demokrasi ke depan, karena rekrutmen caleg yang asal-asalan akan berimplikasi pada rendahnya kualitas wakil rakyat,'' tegasnya.
Partai-partai yang baru didirikan dalam kurun setahun terakhir, kata dia, mestinya baru boleh mengikuti pemilu lima tahun lagi, tidak sekarang. Hal itu penting mengingat tugas partai adalah mempersiapkan kader-kader terbaik calon pemimpin bangsa, baik di legislatif maupun eksekutif. ''Kalau yang jadi anggota DPR adalah kader instan semua, mau jadi apa negeri ini ke depan?'' tegasnya.
Valina Sinka menambahkan, pengajuan caleg tanpa terlebih dahulu melewati proses pendidikan dan persiapan kader yang memadai, akan menghasilkan anggota legislatif karbitan yang tidak memahami tugas-tugas kedewanan.
Akibatnya, setelah terpilih mereka harus menghabiskan waktu dua sampai tiga tahun untuk belajar menjadi anggota dewan dan tidak ada waktu untuk memikirkan dan memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili.
''Krisis kader ini harus menjadi pelajaran yang memaksa parpol melakukan reorientasi. Jangan setelah jadi dewan baru belajar politik, karena lembaga itu bukan tempat belajar,'' paparnya.
Selain itu, tambahnya, partai-partai juga harus memiliki kesadaran dan pemahaman tentang esensi kekuasaan yaitu pengabdian, bukan tempat memperkaya diri. ''Kekuasaan politik itu harus dipahami sebagai hal yang mulia yakni pengabdian, bukan menghalalkan segala cara''.
Laode Ida Menambahkan, krisis caleg merupakan potret tentang hegemonisasi partai politik dalam seluruh aspek kehidupan politik, sehingga masyarakat dipaksa untuk menerima apa saja yang dikehendaki partai-partai politik. ''Gejala ini harus dipangkas dengan pemilu menggunakan sistem distrik,'' tandasnya. (Hil/OL-03)
''Itu kekonyolan politik yang hanya ada di Indonesia, tidak pernah ada di negara lain,'' tegas analis politik LIPI Syamduddin Harris dalam sebuah diskusi politik di Gedung DPD, Senayan, Jakarta, Rabu (20/8).
Menurutnya, kekonyolan tersebut terjadi karena banyak partai baru didirikan menjelang pelaksanaan pemilu, sehingga tidak memiliki waktu cukup untuk mempersiapkan kader-kader berkualitas untuk duduk di legislatif.
''Ini sungguh tidak baik bagi proses pembangunan politik dan demokrasi ke depan, karena rekrutmen caleg yang asal-asalan akan berimplikasi pada rendahnya kualitas wakil rakyat,'' tegasnya.
Partai-partai yang baru didirikan dalam kurun setahun terakhir, kata dia, mestinya baru boleh mengikuti pemilu lima tahun lagi, tidak sekarang. Hal itu penting mengingat tugas partai adalah mempersiapkan kader-kader terbaik calon pemimpin bangsa, baik di legislatif maupun eksekutif. ''Kalau yang jadi anggota DPR adalah kader instan semua, mau jadi apa negeri ini ke depan?'' tegasnya.
Valina Sinka menambahkan, pengajuan caleg tanpa terlebih dahulu melewati proses pendidikan dan persiapan kader yang memadai, akan menghasilkan anggota legislatif karbitan yang tidak memahami tugas-tugas kedewanan.
Akibatnya, setelah terpilih mereka harus menghabiskan waktu dua sampai tiga tahun untuk belajar menjadi anggota dewan dan tidak ada waktu untuk memikirkan dan memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili.
''Krisis kader ini harus menjadi pelajaran yang memaksa parpol melakukan reorientasi. Jangan setelah jadi dewan baru belajar politik, karena lembaga itu bukan tempat belajar,'' paparnya.
Selain itu, tambahnya, partai-partai juga harus memiliki kesadaran dan pemahaman tentang esensi kekuasaan yaitu pengabdian, bukan tempat memperkaya diri. ''Kekuasaan politik itu harus dipahami sebagai hal yang mulia yakni pengabdian, bukan menghalalkan segala cara''.
Laode Ida Menambahkan, krisis caleg merupakan potret tentang hegemonisasi partai politik dalam seluruh aspek kehidupan politik, sehingga masyarakat dipaksa untuk menerima apa saja yang dikehendaki partai-partai politik. ''Gejala ini harus dipangkas dengan pemilu menggunakan sistem distrik,'' tandasnya. (Hil/OL-03)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar