Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), Teten Masduki, memprediksi pemenang pemilu legislatif dan pemilu presiden 2009 adalah calon yang memiliki banyak uang. Hal itu menurutnya disebabkan tidak adanya aturan mengenai dana kampanye serta rendahnya pendidikan masyarakat tentang pemilu.
Pria berkepala plontos itu menyatakan, pemenangan Pemilu 2009 tidak akan ditentukan oleh mesin parpol seperti yang terjadi selama masa orde baru. "Pemilu mendatang yang akan berperan adalah uang calon," kata Teten, di Jakarta, Jumat (5/12).
Pada pemilu tahun 1992 (orde baru), kata Teten, sebanyak 43 persen suara didapatkan dari kecurangan dalam penghitungan suara. "29 persen suara merupakan hasil intimidasi untuk memilih Golkar, parpol yang berkuasa waktu itu," kata Teten
Namun pada Pemilu 2004, kecenderungan tersebut bergeser. "Uang memegang peranan penting," katanya. Ia merinci, sebanyak lebih dari 50 persen suara pada pemilu empat tahun lalu itu dihasilkan melalui jual beli suara (vote buying). Hal ini diprediksinya akan berulang pada Pemilu 2009.
Penyebabnya, kata Teten, adalah kekurangan pada undang-undang pemilu yang digunakan saat ini. "Dalam undang-undang pemilu sekarang, tidak diatur transparansi dan akuntabilitas dana kampanye," katanya. Akibatnya, banyak celah yang digunakan tim sukses kandidat tertentu untuk menggelontorkan uang dalam jumlah besar.
Pertama, ujar dia, adalah dana kampanye yang tidak teraudit dengan baik, karena adanya kasir-kasir bayar yang justru menjadi juru bayar.Kedua, minimnya pelaporan keuangan oleh partai politik. "Padahal aturan universal menyebutkan bahwa dana kampanye seharusnya ada rekeningnya sendiri yang dibedakan dengan rekening parpol," kata Teten.
Ketiga, lanjut dia, adalah tak terbatasnya belanja kampanye oleh kandidat tertentu. Hal itu bisa dilihat dari jor-jorannya iklan politik, baik tentang parpol, calon legislatif, atau tentang calon presiden di televisi-televisi swasta saat ini.
Keempat, adalah pelanggaran batas donasi. Untuk yang terakhir ini, sudah bisa diatasi dengan dicantumkannya syarat nomor pokok wajib pajak (NPWP) dalam peraturan KPU. Teten pun menyatakan dukungannya. Beberapa partai politik yang menolak persyaratan tersebut dengan alasan menghambat bantuan dinilainya mengada-ada.
Wakil Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Sahrin Hamid, menyebut kecenderungan tersebut merupakan fenomena liberalisasi politik. Karena, kata dia, para elite politik memanfaatkan kekuatan finansial mereka untuk menggaet suara rakyat di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang terpuruk.
"Hal ini tentunya menghambat munculnya kandidat dari kalangan orang muda, karena rata-rata kaum muda belum memiliki kekuatan politik dan kekuatan ekonomi seperti seniornya," kata Sahrin. Menurutnya, hal ini berlawanan dengan keinginan masyarakat yang ingin melihat anak muda tampil, baik sebagai anggota legislatif maupun sebagai presiden.
Teten mengatakan, pendidikan politik masyarakat yang rendah memang menjadi pekerjaan rumah kita semua. Masyarakat ekonomi bawah, ujar Teten, belum bisa melihat hubungan antara politik dengan kesejahteraan. "Mereka inginnya langsung diberi uang, itulah paradigma mereka selama ini," katanya.
Melihat fenomena tersebut, ujar Teten, semestinya kita mulai menggalakkan pendidikan pemilu kepada masyarakat. Di samping itu, kata dia, sistem pemilu yang terkesan jor-joran uang itu pun seharusnya diubah menjadi pemilu yang lebih efisien. c66/pt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar